Home » Sejarah Pura Masceti, Blahbatuh, Gianyar Bali

Sejarah Pura Masceti, Blahbatuh, Gianyar Bali

Pesona Blahabatuh – Sejarah Pura Masceti, Blahbatuh, Gianyar Bali. Pura Masceti terletak di pinggir pantai Masceti, Desa Medahan-Keramas. Seperti diketahui bahwa, sebelum diadakan pemekaran desa di bulan Pebruari 1995, Medahan menjadi bagian dari Keramas. Namun saat ini, Medahan dan Keramas memiliki otonomi yang sama, baik secara kedinasan maupun adat, namun masih tetap berada di wilayah territorial Kecamatan Balahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pura Masceti, yang posisinya berada di wilayah Subak Ceti, mudah untuk dikunjungi, oleh karena dapat dijangkau dengan berbagai kendaraan bermotor. Ketika kita berada di perempatan jalan by pass Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, tepatnya di perempatan menuju Desa Medahan, membelok ke selatan kurang-lebih 500 meter, sampailah di Pura Masceti. Pura menghadap ke selatan, yaitu ke arah laut, jaraknya dari bibir pantai kurang-lebih 100 meter, sekaligus menjadi halaman depan pura. Di sebelah kanan (barat) pura,dibangun museum subak.

Berbicara tentang sejarah Pura Masceti tampaknya tidak begitu mudah, oleh karena sumber-sumber tertulis terutama yang berupa prasasti, merujuk kepada sejarah pura hampir tidak ada. Walaupun demikian, akan dicoba mengungkapnya dengan menggunakan sumber-sumber lain, seperti artepak yang ada di lingkungan pura, alam dan lingkungan di sekitarnya, purana, babad, tattwa, dan sumber-sumber lainnya yang menyinggung keberadaan Pura Masceti. Sumber-sumber yang dimaksud di antaranya yaitu: Purana Pura Mengening, Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, Dwijendra Tattwa, Babad Mengwi, Raja Purana I Gusti Agung Maruti, Raja Purana Dalem Agung Pura Kawitan Sri Nararya Kresna Kepakisan, artepak yang ada di lingkungan pura.

Dalam Purana Pura Mangening ada diuraikan tentang pendirian Pura Masceti, yaitu sebagai berikut:

“… Apan patuduh bhatara Pasupati, rihuwus mangkana turun Bhatari Danu mamarga mangidul matemu ri Bathara Baruna, matemahan gentarikang jagat, huwus metu ring Uttara titibaning mangidul, cara-ciri akweh, tikus, walang sangit akweh, sarwa tinandur taninadi, dadya mahyun Bhatari Danu marerawosan ri Bhatara Baruna, muwah mawarah-warah ri paraning wwang Bali Kabeh. Wenang kita agawe Apriangen Masceti, miwah maka pangacining sawah pangenteg ring carik tataning wwang Bali ingaranan Masceti, maka Priangan Dewi Danu, muang Bhatara Tengahin Segara”, Mangkana patangiannia Bhatara nguni, wenang kasembah denikang Ratu Bali muwah Ksatriya, Wesya paraning wwang Bali Kabeh, aywa amegatin acining sawah, matemahang terak wwang Bali, sarwa malarat kabeh. Mangkana matangnia ta nguni. Tan kawenang ta ngwahing acining sawah mwah Priangan jagat sami. Siapa ngwah siapa ngencak, wastu tan dadi jatma muah. Mangkana pawekas Bhatara nguni makabehan….”

Artinya:
“… Karena petunjuk Bhatara Pasupati, setelah itu datanglah Bhatari Danu dan jalan ke selatan mau bertemu dengan Baruna, menyebabkan dunia bergetar, setelah datang dari utara sampai di selatan, banyak cirri, seperti tikus, balang sangit, segala yang ditanam gagal, melihat kenyataan seperti itu rupanya berkeinginan Bhatari Danu berdikusi (berdialog) dengan Dewa Baruna, dan membicarakan tentang orang-orang Bali semua. Dapat kita berkeinginan membangun Pura Masceti, dengan segala upacara penenang di sawah untuk menata kehidupan orang Bali diberi nama Masceti, sebagai tempat suci untuk Dewi Danu, dan Bhatara Segara”, Demikianlah asal-usulnya Bhatara dahulukala, sepatutnya dipuja oleh raja Bali dan para kesatrya, wesyatermasuk orang Bali lainnya. Demikianlah sebabnya dahulu. Tidak diijinkan untuk mengurangi upacara sawah dan tempat suci di Bali semua. Siapa yang mengurangi dan siapa yang melanggar, akibatnya tidak lagi menjadi manusia..”

Bertolak dari paparan sumber di atas, secara kronologis penyusunan sejarah berdirinya Pura Masceti dapat diawali dari keberadaan dua palinggih yang ada di dalam pura, yakni Palinggih Saptapatala dan Palinggih Batu Karang. Namun embrio dari kedua palinggih dimaksud yang tampak seperti saat ini, keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari masa sebelumnya, yaitu masa pra-Hindu. Kemungkinan bentuk bangunan awalnya adalah sangat sederhana dan tidak seperti bentuknya saat ini, niscaya sudah mengalami beberapa kali perbaikan (renovasi). Dikatakan demikian, menyadari akan keberadaan Desa Medahan, yang dahulu sebelum diadakan pemekaran desa di tahun 1995, merupakan bagian dari Keramas, yang kini sebagai tempat di mana Pura Masceti berada. Sebagaimana diketahui bahwa, Desa Keramas termasuk di dalamnya desa Medahan adalah tergolong desa tua, dan sudah ada sejak zaman pra-Hindu. Sumber data arkeologi yang memperkuat bahwa Desa Keramas tergolong desa tua adalah adanya penemuan sarkopagus dengan tidak disengaja tahun 1975, ketika pembuatan pondasi kantor desa.

Sarkopagus merupakan salah satu peninggalan penting dari zaman pra-Hindu, tepatnya pada zaman Megalitik (Soekmono, 1973). Keberadaan tinggalan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa saat itu, di Keramas telah berkembang peradaban yang sangat maju. Tradisi penguburan dengan menggunakan sarkopagus, menandakan bahwa tata kehidupan sosial kemasyarakatan di Desa Keramas telah dibangun secara teratur. Sebagai indikasinya adalah bahwa, bentuk penguburan dengan menggunakan sarkopagus yang hanya diperlakukan terbatas pada orang-orang tertentu saja, utamanya untuk para tokoh yang dipandang berjasa pada masa pengabdiannya di dalam masyarakat, telah berkembang di Desa Keramas. Ketika itu pula diyakini telah berkembang sistem pemujaan kepada roh leluhur (roh orang meninggal) dengan menggunakan tempattempat pemujaan berupa punden berundak atau dalam bentuk onggokan batu (menhir). Tampaknya Palinggih Tpasana di Pura Masceti merupakan bangunan palinggih hasil perkembangan lebih lanjut dari zaman pra- Hindu, yang mulanya hanya berbentuk tepas dan difungsikan sebagai tempat memuja Dewi Ibu (Dewi Kesuburan), berkembang menjadi palinggih Saptapatala, tiada lain adalah lambang dari tanah (pertiwi) atau Dewi Ibu. Benda yang berupa Batu Karang yang disimpan dalam sebuah palinggih yang saat ini juga dijadikan pratima di Pura Masceti, kemungkinan juga sudah ada sejak zaman pra-Hindu, yang difungsikan sebagai media pemujaan untuk dewa laut (Baruna) oleh para petani laut (nelayan). Ketika masuk pengaruh agama dan budaya Hindu, benda tersebut tetap dikeramatkan dan dipuja, dengan membuatkan sebuah palinggih sesuai dengan tradisi.

Baca Ebook tentang Pura Masceti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *